PENJAJAHAN DI BIDANG KESEHATAN

Pengantar

Setelah lebih dari 62 tahun merdeka, Indonesia pada hakikatnya masih dalam keadaan terjajah. Tengok saja setumpuk permasalahan yang dihadapi negeri ini. Di bidang perekonomian, negeri ini bergantung pada utang sehingga dikendalikan oleh kepentingan para kapital (dalam hal ini asing). Permasalahan sosial di antaranya adalah pengangguran, kenaikan harga-harga barang pokok yang berakibat pada rendahnya daya beli masyarakat, kemiskinan, bencana alam seperti kasus lumpur lapindo yang tak kunjung selesai, mengingkatnya kriminalitas, dan sebagainya. Di bidang budaya: merebaknya tindak pornografi pornoaksi, free-sex –baik pasangan lawan jenis maupun sesama jenis, serta promosi besar-besaran atas gaya hidup hedonis, memuja kesenangan. Pembangunan yang kian kapitalistik menjauhkan sisi kemanusiaan dengan sikap individualis. Ikatan sosial tercerai-berai, Modal sosial semakin tidak berarti karena solidaritas terbangun atas faktor-faktor materialistik. Di bidang politik, para pemegang amanah pengurusan urusan rakyat tengah mempersilahkan dominasi ‘asing’ terhadap undang-undang yang menentukan nasib ratusan jiwa rakyat. Selain itu, gelagat KKN di tubuh jajaran penguasa sudah bukan rahasia umum lagi, mental pemerintah pun cenderung sebagai pengusaha daripada penguasa. Permasalahan pendidikan pun terus bertambah, dari mulai komersialisasi pendidikan yang mengancam para pelajar putus sekolah, out-put pendidikan yang money-oriented dan kualitasnya rendah. Kemudian beralih pada masalah kesehatan yang tidak kalah peliknya.

Di antara sejumlah persoalan kesehatan adalah gizi buruk dan busung lapar. Kasus gizi buruk melanda di hampir semua wilayah di Indonesia. Di Serang sebanyak 2.711 dari 203.406 bayi menderita gizi buruk (28/04/2007). Di Sumatra Selatan dari total 193.782 anak dan anak balita, sebanyak 2.061 anak balita digolongkan gizi buruk dan 20.278 anak balita kurang gizi (Dinas Kesehatan Provinsi Sumsel 2007). Kasus gizi buruk dan busung lapar pun terjadi di NTB, NTT, Lampung, Sumatra Barat, Kalimantan, Papua, Sulawesi, Situbondo, Purwakarta, Rembang bahkan Cianjur (Suara Islam Ed 39). Menurut Pakar Gizi Anak FKUI Saptawati Bardosono, ganguan pertumbuhan linier pada balita di Indonesia cukup tinggi. Tingkat keparahan gangguan pertumbuhan mencapai 20% hingga 48%. Penyebabnya adalah kurang asupan gizi dan tingkat kemiskinan yang tinggi. Lebih dari itu permasalahan gizi buruk ini bahkan sampai menelan korban jiwa. Di Sumsel dalam 10 hari, terdapat 2 orang balita yang meninggal karena gizi buruk (Maret 2007). Di Banten dalam 4 bulan 8 bayi penderita gizi buruk meninggal (28/04/07). Di Makasar, seorang ibu yang sedang mengandung, dan anaknya tewas setelah 3 hari tidak makan (29/2/08). Realitas ini hanyalah sebagian dari begitu banyaknya kasus yang terjadi.

Selain gizi buruk, Indonesia dihadapkan kepada permasalahan kesehatan lainnya berupa mewabahnya berbagai penyakit. Kasus flu burung, menurut I Nyoman Kumara Rai, Konsultan Badan Kesehatan Dunia (WHO) untuk Indonesia, Indonesia menjadi ancaman nomor satu karena jumlah penderita dan yang meninggal akibat flu burung sangat tinggi dibandingkan negara lain. Dari jumlah pasien di dunia saat ini 258 orang, 152 meninggal dunia (angka kematian 58,91%). Sedangkan Indonesia “menyumbang” 74 kasus, 56 diantaranya meninggal dunia (angka kematian Indonesia 75,67%). Vaksin untuk pencegahan belum ada di dunia saat ini. Sebanyak 223 dari 444 kabupaten/kota di seluruh Indonesia merupakan wilayah endemi (daerah yang pernah terserang dan selalu “menyimpan”) virus flu burung. Angka ini sudah melebihi separuh kabupaten di Indonesia.

Sementara itu dalam rapat masalah-masalah kesehatan 2008, penyakit-penyakit utama yang dibahas adalah AIDS, TB, Malaria dan DBD. Di Indonesia, penderita HIV/AIDS tercatat sejumlah 9689 jiwa sampai Juni 2007. DBD pun mewabah Hingga akhir April 2007, 9 dari 13 kabupaten dan kota di Kalsel terjangkit DBD sehingga statusnya dinyatakan sebagai KLB. Kasubdinas Pengawas Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Dinkes Kalsel, Sukamto, mengatakan selama 4 bulan pertama 2007 tercatat 1163 warga menderita DBD. 12 orang diantaranya meninggal dunia. Di samping wabah penyakit, harga obat-obatan yang mahal pun menjadi salah satu permasalahan kesehatan di negeri ini. Siapapun yang berobat ke dokter pada hari ini akan mendapati resep yang diberikan dokter sangat mahal. Dalam keadaan demikian hanya dua pilihan: pembelian obat ditunda atau menebus separuhnya. (Ichsan, 2008). Selain itu, biaya rumah sakit pun sangat tinggi, lembaga-lembaga yang memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat pun tidak menjamin kualitas yang memadai. Kesehatan sudah seperti komoditas yang diperdagangkan. Tentu saja jaminan kesehatan yang seharusnya diberikan pemerintah terhadap rakyatnya hanyalah ilusi. Lalu bagaimana sebenarnya realitas kesehatan yang terjadi saat ini, apa yang menyebabkan munculnya permasalahan-permasalahan ini, serta bagaimana sebenarnya pengurusan perkara kesehatan ini ditinjau dari kaca mata Islam dengan kesempurnaan aturannya.

Gambaran Fakta Kesehatan yang Terjadi Saat ini

Tidak dapat dipungkiri bahwa di bidang kesehatan Indonesia masih terjajah oleh para kapital yang hanya berorientasi pada keuntungan daripada pada pelayanan jasa kesehatan. Hal ini dikarenakan: pertama Monopoli obat oleh perusahan-perusahaan besar dunia ini ikut melibatkan kantor perdagangan AS (WTO) untuk mementukan peraturannya, apakah mempertahankan semua biaya paten obat dan praktek monopoli perusahaan besar, atau apakah negara-negara yang memiliki tingkat penyakit yang tinggi memperoleh haknya untuk mendapatkan obat dengan harga yang terjangkau (Saleh 2003). Tentu kepentingan para kapital lah yang menang. Mike Moore, direktur jenderal WTO menyatakan: “Industri telah mengeluarkan biaya rata-rata pengembangan obat baru sebesar US $ 500 juta. Apakah itu bukan untuk sistem hak paten sebagai balasan bagi perusahaan yang menanggung resiko jutaan dolar dalam risetnya, sehingga tanpa ini obat anti Aids tidak akan penah ada”. Keberpihakan WTO terhadap hak paten bagi perusahaan-perusahaan obat tersebut adalah wajar, karena perusahaan farmasi telah memberikan sumbangan kampanye jutaan dollar untuk penegakkan sistem politik AS. Sementara itu hal yang ingin diperoleh perusahaan-perusahaan farmasi Barat adalah pencarian profit yang maksimum. Bahkan ketika pun mereka memberikan bantuan bak dermawan dengan memberikan potongan harga produknya, hal itu hanyalah sekedar menyamarkan tindakan untuk melindungi deviden dan menjaga dari pesaing generik yang memangkas pasar mereka (saleh 2003). Industrialisasi kesehatan pun diperankan oleh industri obat-obatan. Seperti yang disebutkan sebelumnya, standarisasi obat dibuat tidak lain untuk melindungi hak paten perusahaan-perusahaan obat dan melanggengkan monopoli obat. Farmasi mempunyai peran penting dalam menjamin dan memperbaiki kesehatan masyarakat, menghasilkan obat untuk mengatasi berbagai penyakit, minimasi risiko kesehatan dan menjamin pelayanan kesehatan yang berkesinambungan (sustainable) bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang (Sampurno 2007). Akan tetapi dalam paradigma kapitalisme, bidang farmasi diindustrialisasi, melihat begitu besarnya peluang pasar dari penyakit-penyakit yang semakin hari semakin berkembang. Selain itu, adanya globalisasi dalam bidang farmasi telah membuka peluan bagi dominasi asing untuk menjual obat-obatan produksinya.

Kedua adalah Komersialisasi dokter yang hubungannya dengan perusahaan obat Dampak dari realitas ini adalah Obat dan pelayanan kesehatan mahal selain itu dokter lebih mengedepankan menjual merk obatnya. Akibat dari monopoli obat dan hak paten, serta kolusi dokter dengan pengusaha obat adalah tingginya harga obat. Dalam pandangan manusia saat ini, obat adalah salah satu cara untuk menyembuhkan penyakit. Karenanya mau tidak mau, obat yang diresepkan dokter mesti ditebus. Sementara penyakit tidak pandang bulu, dapat menimpa siapa saja. Kondisi obat yang mahal semakin mencekik leher rakyat. Adapun obat generik dengan harga murah yang diupayakan pemerintah agar terjangkau pun masih menyisakan berbagai masalah. Ini karena perusahaan farmasi tidak akan berproduksi bila keuntungan sangat kecil. Selain itu, harganya harus disesuaikan dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena 95% bahan baku obat generik diimpor. Pemerintah pun mesti berkoar-koar menghimbau para dokter agar memberikan resep obat generik pada pasiennya. Di samping itu, jumlah obat generik pun terbatas dan distribusinya kurang merata. Yang lebih disayangkan lagi adalah adanya obat-obat generik yang sudah kadaluarsa beredar di masyarakat. Ini memperlihatkan ketidak-seriusan dalam melayani pasien. Dengan kata lain, orang yang mampu membayar murah hanya mendapatkan fasilitas seadanya. Pelayanan kesehatan disamakan dengan perdaganan yang mengedepankan untung rugi dan meniadakan sisi kemanusiaan. Sudah dapat dipastikan, orang miskin dilarang sakit. Karena pelayanan kesehatan harus ditukar dengan lembaran-lembaran rupiah yang banyak.

Kembali lagi kepada hak paten atas lisensi obat, hal ini juga mengakibatkan ketergantungan dunia pada perusahaan-perusahaan farmasi dunia. Tengok saja apa yang terjadi di Afrika Selatan. Negara yang sedang menderita krisis Aids akut dengan 10% penduduknya positif terjangkit HIV (4 juta orang) dan ini merupakan yang terbesar di dunia. Penyakit itu secara besar-besaran membunuh penduduk Afrika Selatan dengan jumlah penderita yang terus bertambah. Dalam keadaan putus asa untuk menahan pertumbuhan dan penyebaran penyakit tersebut pemerintah, melalui undang-undang tahun 1997, mengijinkan impor obata-obatan generik dengan harga murah agar terlepas dari cengkraman monopoli para pemegang hak paten perusahaan-perusahaan farmasi. Akan tetapi WTO mengajukan masalah ini ke pengadilan Pretoria untuk menentang undang-undang yang menginjinkan pemerintah mengimpor obat generik ataupun obat tiruan. Di bawah ketentuan khusus undang-undang perdagangan “301″, Amerika Serikat secara sepihak dapat menjatuhkan sanksi perdagangan terhadap negara-negara yang berbeda dengan keinginannya dan mengingkari keabsahan hak paten obat. Di satu sisi pemerintah Afrika Selatan dan organisasi Aids menganggap masalah hak paten adalah hukuman mati terhadap dunia miskin yang menimpa sejak hak paten telah menempatkan melebihi jangkauan mereka. Di sisi lain perusahaan-perusahaan farmasi dan WTO menganggapnya sebagai perangsang/pendorong dan perlindungan atas investasi keuangan.

Kekejaman ini pun berlaku tidak hanya pada obat, tetapi juga pada vaksin. WHO sebuah organisasi kesehatan dunia telah lama memanfaatkan penderitaan warga dunia dan menjadi bagian dari kapitalisme dunia. WHO ternyata menjual data virus-virus yang sedang mewabah ke perusahaan-perusahaan dunia. Perusahaan-perusahaan tersebut kemudian mempatenkannya. Sementara negara tempat berkembangnya virus sama sekali tidak boleh mendapatkan informasi yang diminta. Oleh perusahaan-perusahaan besar ini, virus dibuat vaksinnya kemudian dijual ke negeri-negeri dimana virus tersebut berasal. Sikap licik ini ditentang habis oleh Menteri Kesehatan RI, Siti Fadilah Supari. Melalui bukunya, beliau memaparkan bagaimana kezaliman hegemoni AS di bidang kesehatan dunia.

Dominasi kapitalisme di bidang kesehatan

Paradigma kapitalisme telah meracuni dunia. Dalam paradigma kapitalistik yang sekular, segala sesuatu dipandang dari apakah hal tersebut membawa keuntungan (laba) atau tidak. Maka apapun bentuknya jika dapat menghasilkan keuntungan materi yang banyak, hal tersebut akan dijadikan komoditas. Dalam hal ini jasa pelayanan kesehatan pun dianggap menguntungkan. Dalam pandangan kapitalisme, pelayanan kesehatan dianggap komoditas –yang besar dengan pangsa pasar yang luas– ketimbang tanggung jawab sosial. Hubungan pasien dengan dokter adalah hubungan konsumen dengan produsen. Sebesar apa seorang konsumen mampu membayar jasa kesehatan ini, sebesar itulah pelayanan kesehatan yang ia peroleh. Pupuslah pandangan bahwa pelayanan kesehatan adalah tanggung jawab sosial. Menjadikan kesehatan sebagai komoditas sektor jasa, membuat para kapital (pemilik modal) melakukan berbagai cara agar modal yang investasikannya bisa berlipat-lipat. Karenanya berbagai ‘inovasi’(baca: melakukan segala cara) pun dilakukan. Di negara-negara Kapitalis, kepentingan komersial menjadi faktor memotivasi pengembangan obat baru. Karenanya, pengobatan medis baru apapun dilihat sebagai kekayaan intelektual untuk keuntungan perusahaan-perusahaan farmasi meskipun hal itu menyebabkan penderitaan jutaan orang. Dengan kata lain, sasaran atau tujuan perusahaan-perusahaan tersebut adalah mencari laba bukan untuk menyelamatkan kehidupan (Saleh 2003).

Penyakit-penyakit yang diderita masyarakat dunia malah dijadikan ajang bisnis oleh para kapitalis. Mereka tidak segan-segan menginvestasikan modal mereka di dunia kesehatan yang menjanjikan ini. Dr.Sue Meyer (dalam Saleh 2003) dari kelompok riset Genewatch UK mengatakan, “ilmu pengetahuan dikendalikan oleh kepentingan pribadi, mengarahkan maksimalisasi nilai saham mereka, dibandingkan dengan masalah kesehatan masyarakat.” Sekalipun mereka harus membayar tinggi informasi dari WHO mengenai virus yang sedang mewabah di dunia, itu mereka lakukan. Sekalipun mereka harus menghabiskan dana yang besar untuk penemuan obat-obatan pun mereka lakukan. Karena perusahaan-perusahaan besar dunia (MNC:Multi-natianal Coorporation) tahu pasti profit yang akan mereka peroleh melalui komoditas jasa kesehatan. Berbagai upaya MNC di bidang kesehatan ini tidak lain sebagai strategi MNC meraup keuntungan besar.

Para kapital dengan modalnya yang besar telah menciptakan ketergantungan dunia ketiga terhadapnya. Monopoli obat dan hak paten serta adanya regulasi dunia yang melindunginya dari persaingan menjadikan para kapitalis ini lah sebagai para pemain utama pengobatan dunia. Lihat saja bagaimana dunia ketiga mesti mengemis-ngemis obat dan vaksin kepada mereka; bagaimana negeri-negeri yang penduduknya yang terserang penyakit dan terancam kematian sampai ‘berlutut’ agar diberikan obat dengan harga murah. Tapi kekejaman kapitalis tetaplah bengis. Melalui hak paten mereka jadikan alat sebagai monopoli perdagangan obat, sehingga menyebabkan negara dunia ketiga tergantung pada mereka yang memiliki hak paten untuk mendapatkan obat. Kecenderungan mementingkan diri sendiri dan kolonialis negara-negara Kapitalis sudah tertanam berabad-abad lamanya. Pandangan hidup sekuler, yang dipeluk Barat, membuat pengejaran kesenangan dan kepentingan individu menjadi tujuan hidup. Ini dibuktikan dengan pencarian tidak ada berakhir untuk keuntungan materi dengan mengabaikan mudarat yang disebabkannya terhadap orang lain.

Negara-negara dunia ketiga termasuk indonesia hanya dijadikan permainan oleh para penjahat kapitalisme. Kekuatan modal telah membius siapa saja yang tergiur oleh nikmat sesaat yang diiming-imingi para kapitalis. Lihat saja bagaimana pemerintah negeri ini dalam menentukan kebijakan-kebijakannya. Bagaimana mereka melegalisasi kebijakan yang pro-liberal daripada berpihak pada kemaslahatan umat. Di bidang kesehatan, sekuat apapun idealisme pemerintah memenuhi pelayanan kesehatan rakyat, tetapi paradigma kapitalisme lebih dominan dan cenderung memupus idealisme yang ada. Pemecahan masalah kesehatan tidak diselesaikan dengan solusi tepat yang sesuai fitrah manusia. Solusi tetap dari bagaimana agar memeroleh keuntungan. Pro kontra dalam menentukan kebijakan pun pasti dimenangkan oleh pihak yang berkepentingan (para kapitalis). Ini bisa dilihat dari bagaimana pemerintah mengajukan liberalisasi kepada WTO atas sektor-sektor seperti pendidikan, kepemilikan perbankan, lawyer asing yang boleh hadir di Indonesia, konstruksi, kesehatan dan rumah sakit, serta imigrasi. Kecenderungan pemerintah jelas pro liberal. Sektor-sektor yang menjadi kebutuhan rakyat seperti pendidikan dan kesehatan mereka liberalisasikan (menjadi komoditas). Elit komprador dan cendekiawan serta LSM kesehatan turut menyumbang komersialisasi dan penjajahan di bidang kesehatan ini. Mereka pun ikut tergiur oleh keuntungan yang ditawarkan para kapitalis. Dokter-dokter lebih mudah terbujuk kepentingan perusahaan obat dibanding memberikan pelayanan yang dibutuhkan pasien. Para marketing perusahaan obat lebih berorientasi pada target penjulan yang tinggi sehingga berbagai cara pun dilakukan agar obatnya laku, sekalipun harus ‘mengorbankan’ kebutuhan konsumen. Para aktivis LSM kesehatan pun terlena dengan bantuan dana yang diberikan lembaga-lembaga asing kapitalis untuk memuluskan jalan kepentingan para kapitalis. Sekalipun ikatan ‘kontrak’ LSM kesehatan dengan lembaga asing hanya berupa peneltian. Informasi penelitian ini dijadikan data para kapitalis untuk menginvestasikan modal mereka dalam bisnis kesehatan ini.

Solusi Islam

Islam sebagai sebuah sistem peraturan yang lengkap, melihat permasalahan kesehatan sebaga kebutuhan seluruh manusia yang menjadi tanggung jawab negara. Namun tidak lantas hanya negara yang berperan aktif merealisasikan kesehatan seluruh warganya. Akan tetapi negara bersama-sama dengan warganya saling bahu membahu untuk merealisasikan kebijakan Islam di bidang kesehatan. Bahwa ‘kebersihan sebagian dari iman’ bukan sekedar slogan. Ini dibuktikan dengan bagaimana masyarakat dengan arahan pemerintah melakukan aktivitas: (1) Preventif terhadap munculnya penyakit. Diantaranya adalah menciptakan lingkungan sehat dan bersih. Dorongan untuk meningkatkan ilmu pengetahuan di bidang kesehatan bukan untuk memperoleh laba, akan tetapi dorongan keimanan untuk memenuhi perintah Allah SWT. Motivasi mengejar pahala dan ridlo Ilahi adalah yang utama. Ketika kaum muslimin menciptakan inovasi baru dalam sistem satitasi air, tidak lain hanya untuk memenuhi seruan Allah dalam hal berwudlu. Penemuan sanitasi air ini berkembang untuk pengadaan air bersih untuk kebutuhan sehari-hari.

(2) Penyediaan berbagai sarana kesehatan oleh negara merupakan kebijakan Islam dalam kesehatan. Negara dalam pandangan Islam wajib menyediakan rumah sakit dan obat-obatan secara gratis. Kesehatan dipandang sebagai salah satu kebutuhan pokok warga negara yang mesti dipenuhi pemerintah. Motivasi tercapainya keridloan Allah pula-lah yang mendorong negara Islam mengupayakan terpenihunya pelayanan kesehatan bagi warga negaranya serta tersedianya obat. Ketika Rasulullah memberitahukan kepada kita bahwa: “Tidak ada penyakit yang diciptakan Allah kecuali Allah telah menciptakan obatnya.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah). Obat yang telah ditemukan tidak pernah mempedulikan hak milik individu atau perusahaan dagang tertentu tetapi itu adalah kemurahan dari Allah SWT yang disediakan oleh negara untuk rumah sakit dan klinik kesehatan, dan banyak sekolah farmasi dan toko obat dibuka untuk memelihara urusan rakyat. Riset medis dalam Islam mempunyai kedudukan yang tinggi dan dibuang jauh dari sikap egois sebagaimana yang dapat kita saksikan hari ini. Mujtahid terkemuka Imam Syafi’I mengatakan tentang obat: “Setelah ilmu pengetahuan yang membedakan mana yang halal dan yang haram, saya tidak mengetahui ada ilmu pengetahuan manapun yang lebih mulia kecuali ilmu pengobatan.” Dalam islam pelayanan kesehatan menjadi tanggung jawab negara, maka pelayanan kesehatan masyarakat tidak bersifat komersil. Seluruh biaya yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan tersebut ditanggung oleh Baitul Maal.

Realisasi dari kebijakan-kebijakan Islam di dunia kesehatan dapat dilihat dari fakta keemasan Khalifah Islamiyan di bidang kesehatan. Daulah Khilafah Islam menyediakan dokter di tengah masyarakat, menanggulangi problem kesehatan masyarakat, dan membangun sarana atau balai-balai kesehatan. Negaralah yang bertanggung jawab untuk mewujudkan semua itu.

Fakta dunia kesehatan dalam Daulah Islamiyah telah menjalankan fungsi ini dengan sebaik-baiknya. Negara menjamin kesehatan masyarakat, mengatasi dan mengobati orang-orang sakit, serta mendirikan tempat-tempat pengobatan. Rasulullah saw. pernah membangun suatu tempat pengobatan untuk orang-orang sakit dan membiayainya dengan harta benda Baitul Maal. Dalam buku Târîkh al-Islâm as-Siyâsî diceritakan bahwa Sayidina Umar r.a. telah memberikan sesuatu dari Baitul Mal untuk membantu kaum yang terserang penyakit lepra di jalan menuju Syam ketika melewati daerah tersebut. Hal yang sama juga pernah dilakukan oleh para khalifah dan para pemimpin wilayah. Bahkan, Khalifah Walid ibn ‘Abdul Malik telah memberikan bantuan secara khusus kepada orang-orang yang terserang penyakit lepra. Dalam bidang pelayanan kesehatan ini, Bani Ibn Thulun di Mesir memiliki masjid yang dilengkapi dengan tempat-tempat untuk mencuci tangan, lemari tempat menyimpan minuman dan obat-obatan, serta dilengkapi dengan ahli pengobatan (dokter) untuk memberikan pengobatan gratis kepada orang-orang sakit.

(3) Sarana kesehatan memadai dan dokter yang profesional. RS pertama dibangun atas permintaan Khalifah Al-Walid (705 M - 715 M) - seorang khalifah dari Dinasti Umayyah. Tempat perawatan yang dikenal dengan nama `Bimaristan’ itu disediakan tak hanya pagi penderita leprosoria tapi juga bagi penderita lepra yang saat itu merajalela. Untuk merawat para pasien itu, khalifah menggaji tenaga perawat dan dokter. RS Islam pertama yang sebenarnya dibangun pada era kekuasaan Khalifah Harun Al-Rasyid (786 M - 809 M). Setelah berdirinya RS Baghdad, di metropolis intelektual itu mulai bermunculan RS lainnya. Konsep pembangunan beberapa RS di Baghdad itu merupakan ide dari Al-Razi, dokter Muslim terkemuka. Dalam catatan perjalanannya, seorang sejarawan bernama Djubair sempat mengunjungi Baghdad pada 1184 M. Ia melukiskan, RS yang ada di Baghdad seperti sebuah `istana yang megah’. Airnya dipasok dari Tigris dan semua perlengkapannya mirip istana raja. Menurut Dr Hossam Arafa dalam tulisannya berjudul Hospital in Islamic History pada akhir abad ke-13, RS sudah tersebar di seantero Jazirah Arabia.

Akhirnya hanya Islam yang dapat menyelesaikan penyakit sekularisme. Dan hanya melalui kembalinya Khilafah dan penerapan syari’at secara komprehensif yang dapat merealisasikan jaminan pelayanan kesehatan masyarakat. Telah nyata betapa bobroknya sistem kapitalisme yang mengcengram dunia termasuk di bidang kesehatan. Sudah saatnya kita campakan ideologi kapitalisme yang menyengsarakan dan menegakkan ideologi Islam melalui intitusi Khilafah.

Walloohu a’lam…….

DAFTAR PUSTAKA

DR.Sampurno.”Membangun Daya Saing Farmasi Indonesia Menghadapi Harmonisasi Regulasi Farmasi Asean”.akses : 2007 dikutip dari : http://strategic-manage.com/?p=6

Fadilah, Siti Supari. “saatnya dunia berubah tangan tuhan dibalik virus flu burung”. PT. Sulaksana Watinsa Indonesia. Jakarta. 2007

Usman, muhammad dan yahya abdurrahman. “kebijakan khilafah di bidang kesehatan”. Al wa’ie no.93 tahun VIII. 2008

Saleh.”Hak Paten Obat: Untuk Kesehatan Masyarakat atau Kekayaan Korporat”. Akses : 2008. Dikutip dari : http://jurnal-ekonomi.org/2003/11/03/hak-paten-obat-untuk-kesehatan-masyarakat-atau-kekayaan-korporat/

Wawacara bersama H. azwir Ibnu Aziz : “Asing Menguasai Industri Farmasi”. Al wa’ie no.93 tahun VIII. 2008.

0 komentar: